Tulisan saya dalam majalah Geodesi UNDIP "Ellipsoida" dengan judul "Menggondol Gelar Master di Luar Negeri? Why Not?" yang sumbernya diterjemahkan dari http://gge.unb.ca dengan beberapa perubahan.
Masih ingat film yang begitu populer sekitar dua tahun yang lalu, Laskar Pelangi? Sebuah film inspiratif yang mengangkat tema utama perjuangan seorang bocah miskin Belitong yang memiliki harapan dan semangat yang sangat luar biasa untuk memperoleh pendidikan itu seharusnya menjadi cambuk yang sangat keras untuk kita yang kini tengah menikmati bangku kuliah. Ditambah dengan sekuelnya, Sang Pemimpi yang kembali berkisah mengenai usaha tak kenal lelah Ikal dan Arai yang pada akhirnya mampu mewujudkan mission impossible mereka yaitu menjejakkan kaki di altar suci Universitas Sorbonne itu benar-benar mendeskripsikan makna kesuksesan akademis yang sesungguhnya: hanya bermodalkan kerja keras, semangat, harapan, dan doa tanpa didukung sedikitpun kultur akademis maupun finansial yang kuat, namun mereka berdua mampu memperoleh apa yang bahkan belum tentu mampu didapatkan oleh mereka yang hidup berkecukupan.
Sebagai seorang mahasiswa, berpikir global merupakan salah satu step pembeda yang terkadang menjadi penentu kesuksesan seseorang. Secara general, mahasiswa memang hanya dituntut untuk lulus tepat waktu dengan nilai yang tinggi lalu memperoleh pekerjaan yang layak dalam waktu sesingkat mungkin. Itulah paradigma umum yang terlanjur menghinggapi pemikiran kebanyakan orang tua pada umumnya. Dan jika kita tidak mampu mengkreasikan pikiran kita sebagai seorang pemuda, tentunya selamanya kita akan terkungkung dalam sistem yang stagnan seperti itu.
Dunia itu luas. Hanya sekedar tekun belajar selama kurang lebih 4 tahun lalu lulus dan bekerja tanpa sedikitpun memikirkan hal yang lain tentu menjadikan kita hanya mampu beradaptasi dengan kehidupan yang lokal. Padahal di luar sana ditawarkan berbagai macam perbedaan dan keindahan yang takkan mampu kita jumpai di negeri kita. Pengalaman Ikal dan Arai di Perancis adalah bukti bagaimana nikmatnya mengenyam pendidikan di luar negeri.
Melanjutkan studi ke luar negeri memang bukanlah suatu keharusan. Bahkan dengan mendapatkan gelar doktor atau master di Indonesia pun mungkin seseorang sudah mampu menjadi ilmuwan yang handal maupun profesional yang mumpuni. Namun melalui perbedaan kultur, sistem pendidikan, maupun tingkat pengalaman seseorang yang mendapatkan pendidikan di luar negeri tentu akan menjadi loncatan yang signifikan jika dibandingkan dengan mereka yang selama hidupnya hanya berinteraksi dengan warga satu ras saja.
Seperti layaknya di Indonesia, jurusan Teknik Geodesi memang tidak dimiliki semua universitas di dunia. Namun dari sebagian universitas tersebut, beberapa memiliki kualitas yang menjadikan mereka referensi dalam pemenuhan kebutuhan-kebutuhan yang bersifat spasial. Salah satu diantaranya adalah Universitas New Brunswick (UNB), Kanada. Universitas yang juga menjadi almamater Profesor GPS yang paling terkenal di Indonesia, Hasanuddin Z. Abidin.
Jurusan Teknik Geodesi di UNB mulai dirintis pada tahun 1959 oleh Roberts Willis (kemudian Direktur Survei untuk New Brunswick), Bill Hilborn (kemudian profesor fotogrametri di Fakultas Kehutanan), Ira Beattie (kemudian Ketua Jurusan Teknik Sipil), dan Gottfried Konecny (kemudian Asisten Profesor, Teknik Sipil). Dalam perkembangannya, jurusan tersebut telah melakukan berbagai macam penelitian seperti survei kontrol dan pemetaan di Athabasca Glacier pada tahun 1963, pemetaan dua gletser di Utara Pulau Ellesmere pada tahun 1964, serta pengukuran pergerakan es di Ward Hunt pada tahun 1965. Pada 1990-an, tren di jurusan ini adalah untuk menggabungkan peneliti, pendidik, dan sumber daya ke dalam tim untuk memaksimalkan kemampuan memanfaatkan dan menyebarkan pengetahuan yang diperoleh dari kemajuan teknologi luar biasa yang telah ada. Kelompok-kelompok tersebut antara lain Canadian Centre for Geodetic Engineering, Geodetic Research Laboratory, Geographical Engineering Group, dan Ocean Mapping Group.
Gelar master jurusan Teknik Geodesi di UNB dapat dikategorikan menjadi dua. Pertama adalah MScE (Master Science in Engineering). Kandidat sebaiknya memiliki gelar sarjana di geodesi dan / atau geomatika dari universitas yang diakui. Mahasiswa yang memegang gelar di cabang selain engineering, matematika, atau science akan dipertimbangkan untuk diterima asalkan mereka memiliki latar belakang yang memadai di bidang geodesi dan / atau geomatika. Namun mahasiswa yang kinerja atau kualifikasi akademisnya di bidang geodesi dan / atau geomatika masih diragukan, jika masih memungkinkan dapat masuk ke tahun percobaan atau kualifikasi. MScE adalah gelar yang menggunakan tesis penelitian sebagai persyaratan kuliah yang harus diselesaikan.
Gelar yang kedua adalah MEng (Master of Engineering). Persyaratan pendaftaran identik dengan persyaratan gelar MScE, meskipun mahasiswa dewasa akan lebih dipertimbangkan sehubungan dengan latar belakang akademis dan praktis. MEng memiliki beban kuliah lebih tinggi dari MScE, dan lebih ditujukan untuk para mahasiswa yang ingin belajar satu atau lebih bidang Teknik Geodesi dan Geomatika pada tingkat lanjut tanpa perlu terlibat dalam penelitian mendalam.
Universitas New Brunswick hanya salah satu alternatif bagi mahasiswa Teknik Geodesi yang berhasrat melanjutkan studinya ke luar negeri. Masih banyak universitas-universitas lain di belahan dunia ini yang memiliki jurusan Teknik Geodesi / Geomatika maupun spesifikasi bidang keilmuan yang memiliki korelasi dengannya. Kuncinya cukup belajar keras, pantang menyerah, selalu meng-upgrade kemampuan bahasa asing kita, dan tentunya berdoa.
Sumber gambar:
http://www.omg.unb.ca/
p://the-marketeers.com/
http://www.unb.ca/
No comments:
Post a Comment
Please write your comment here