Posting berikut adalah rangkuman terjemahan dari kumpulan jurnal internasional Gang Hong dari Department of Geodesy and Geomatics Engineering University of New Brunswick, Kanada tahun 2007 dengan judul IMAGE FUSION, IMAGE REGISTRATION, AND RADIOMETRIC NORMALIZATION FOR HIGH RESOLUTION IMAGE PROCESSING.
Beberapa faktor independen dari penutup lahan dapat
secara signifikan mempengaruhi reflektansi spektral yang diukur pada sensor. Ini termasuk kalibrasi
sensor, elevasi matahari, kondisi atmosfer dan topografi. Dari faktor-faktor
tersebut, kalibrasi sensor, sudut matahari dan kondisi atmosfer mengalami
perubahan terhadap waktu. Normalisasi citra diperlukan untuk mengurangi efek
variasi radiometrik pada beberapa citra yang memiliki perbedaan waktu. Hasilnya
adalah serangkaian citra yang memiliki kondisi penutup lahan yang sama
berdasarkan nilai spektral, memungkinkan untuk
analisa lebih lanjut dalam mendeteksi perubahan tutupan lahan (Callahan, 2003).
Setelah dilakukan normalisasi radiometrik, kedua citra
akan mempunyai sistem metrik warna yang sama dan keduanya dapat dibandingkan
secara spektral (Hong, 2007). Meskipun perubahan dapat dideteksi tanpa koreksi
radiometrik, untuk mendeteksi perubahan secara otomatis, normalisasi citra
sangat diperlukan (Chavez and Mackinnon, 1994).
Ada 2 jenis normalisasi radiometrik, yaitu absolut dan relatif (Hong,
2007). Normalisasi radiometrik absolut dapat mengkonversi nilai digital dari
citra satelit menjadi cahaya pada permukaan bumi (Du et al, 2002), sedangkan
normalisasi radiometrik relatif menggunakan sebuah citra referensi agar
parameter radiometrik citra masukan sesuai dengan citra referensi (Hall et al,
1991). Beberapa teknik normalisasi radiometrik relatif telah dikembangkan,
diantaranya regresi linear sederhana (Jansen, 1983), metode
normalisasi pseudovariant feature (Scott et al, 1988), haze
correction (Chavez, 1988; Yuan and Elvidge, 1996), pencocokan
histogram (Shimabukuro et al, 2002), normalisasi standar deviasi rata-rata dan
minimum-maksimum (Yuan and Elvidge, 1996), dark bright set method (Hall
et al, 1991), no change pixel set method (Elvidge et al,
1995), memasukkan pseudo-invariant feature secara
statistik (Du et al, 2002), dan memilih piksel yang tidak berubah pada
masing-masing band (Ya’allah and Saradjian, 2005).
Normalisasi citra secara umum dibagi dalam tiga kategori: metode statistik
(misalnya metode standar deviasi); metode histogram; metode regresi linear
(misalnya PIF, DB, NC, dll). Namun kebanyakan normalisasi citra menggunakan
metode regresi linear.
Secara ringkas masing-masing metode dapat didefinisikan sebagai berikut:
1.
Metode Regresi Linear Sederhana
Metode regresi linear
sederhana (Jensen, 1983) menggunakan persamaan kuadrat terkecil
untuk menentukan koefisien persamaan.
2.
Metode Pencocokan Histogram
Metode ini pada intinya
melakukan pembetulan histogram citra masukan dengan menggunakan histogram citra
referensi agar distribusi histogram citra masukan sama dengan distribusi
histogram citra referensi, yaitu dengan mengubah look up table yang
pada akhirnya dapat mengkonversi nilai histogram. Metode ini cocok digunakan
untuk mengoreksi dua citra yang memiliki sudut matahari atau efek atmosfer yang
berbeda (Yang and Lo, 2000).
3.
Metode Pseudoinvariant Feature (PIF)
Scott et al (1988)
memperkenalkan metode pseudoinvariant feature, dimana metode ini
menganalisa distribusi pantulan / refleksi dari elemen-elemen yang secara
statistik tidak memiliki variansi pantulan, seperti beton, aspal, atau atap
rumah. Elemen-elemen ini diasumsikan tidak mengalami perubahan yang signifikan
antara dua citra. Perubahan nilai derajat keabuan dari objek-objek tersebut
diasumsikan linear dan secara statistik dikoreksi untuk dilakukan normalisasi
citra.
4.
Metode Dark-Bright
Hall et al (1991)
menggunakan rata-rata set kegelapan dan kecerahan citra dari citra masukan dan
citra referensi menggunakan transformasi Kauth-Thomas untuk menentukan koefisien
normalisasi. Hal ini berdasarkan asumsi bahwa citra selalu mengandung beberapa
piksel yang mempunyai nilai pantulan rata-rata yang sama dengan citra serupa
pada waktu yang berbeda.
5.
Metode No Change
Elvidge et al (1995)
mengembangkan metode normalisasi dengan menempatkan pusat statistik dari data
kelas spektral tanah dan air yang relatif stabil menggunakan
inframerah dekat dari scattergram waktu pertama dan waktu
kedua untuk membandingkan regresi linearnya. Data inframerah dekat digunakan
karena panjang gelombang dari kelas spektral untuk air dan tanah terpisah,
sehingga kelas spektral yang tidak berubah dapat diketahui dan dianalisa. Tidak
adanya perubahan tersebut ditentukan dengan menempatkan nilai ambang batas
terhadap garis regresi. Piksel yang berada di bawah nilai ambang batas tersebut
digunakan dalam analisis regresi pada masing-masing band untuk menghitung
koefisien normalisasi.
Dalam menentukan target titik-titik sampel koreksi normalisasi radiometrik,
ada beberapa ketentuan yang harus diperhatikan antara lain (Eckhardt et
al,1990):
1. Kedua titik harus berada pada
elevasi yang sama, sehingga ketebalan atmosfer keduanya sama.
2. Objek vegetasi harus seminimum
mungkin karena vegetasi sangat mudah mengalami perubahan.
3. Daerah sebisa mungkin harus
datar sehingga kesalahan karena perubahan sudut matahari bisa dimimalisir.
4. Pola target yang akan
dinormalisasi tidak berubah ketika ditampilkan dalam image display
screen.
5. Set titik-titik sampel tersebut
memiliki rentang derajat keabuan yang lebar agar model regresi linear tersebut
semakin akurat.
Akurasi dari koreksi radiometrik ditentukan oleh nilai RMSE (root mean
square error). Digital number dari citra yang dikoreksi
dibandingkan dengan citra referensi, dan jika perbedaan DN tersebut kecil, maka
RMSE yang dihasilkan pun kecil. Sebaliknya, jika perbedaan yang dihasilkan
besar, maka RMSE pun akan semakin besar.
Terimakasih Mas, sangat membantu saya dalam tahapan normalisasi citra.. salam kenal, saya Ridho Ilahi mahasiswa teknik Geodesi UGM..
ReplyDelete