Mungkin
kau masih menutup mata. Atau membuka mata hanya pada hal-hal yang tidak kau
inginkan. Memang, banyak yang tidak mencintai negeri ini, mereka yang lebih berpikir
bagaimana membahagiakan dirinya sendiri dengan menyengsarakan hidup rakyat yang
sudah memberinya banyak hal. Memberi secara tak langsung tentu saja, atau lebih
sederhananya dapat kau sebut ‘amanah’. Negeri ini telah kehilangan mereka yang
mencintainya, sang idealis yang berpikir bagaimana Merah Putih dapat
berkibar di mata masyarakat dunia.
Terlalu
besar kau bilang? Jika perjuangan terhadap Indonesia hanya kau kerucutkan pada peran
Habibie dalam memajukan dunia kedirgantaraan negeri, langkah inovatif Anies
Baswedan dalam mengembangkan pendidikan bangsa ini melalui ‘Indonesia
Mengajar’, atau aksi Evan Dimas yang menjebol gawang Korea Selatan tiga kali
yang pada akhirnya membuat Indonesia berhak berlaga di Piala Asia U-19, sudah pasti
kau tak akan pernah memulai apa-apa. Tapi jika kau berpikir secara lebih
sederhana, sungguh, berbuat untuk Indonesia bisa dilakukan dengan cara sekecil
apapun.
Kau
tak perlu mengeluhkan ini dan itu. Kau tak perlu pula berkomentar apapun
terhadap susunan pemerintah yang ada sekarang. Memang, kau tak dapat mengatakan
mereka bagus, tapi tentunya kau tak dapat mengeneralisasikan semuanya buruk. Pastinya
ada segelintir abdi negara yang benar-benar mencintai negerinya, tulus
melakukan tugasnya atas dasar pengabdian kepada tanah tempat ia dilahirkan. Tentu
saja bukan berarti kita tak dapat mengkritisi mereka yang memang bersalah,
bukan itu, melainkan ada baiknya kita lebih memusatkan perhatian kita kepada
diri kita sendiri.
Dimana
kau dilahirkan?
Dimana
kau dibesarkan?
Apa
peranmu untuk tanah yang sudah kau injak hingga nafas terakhirmu hari ini?
Kareumbi
mengajarkan banyak hal. Teriakan ‘Indonesia’ yang dilontarkan berkali-kali
sudah pasti melebur dalam sebuah spontanitas, paling tidak hingga pelatihan
berakhir. Kami, anak-anak muda yang memang ingin menjadi bagian dalam
pembangunan negeri ini melalui penyelenggaraan informasi geospasial yang
tertata sempurna, seperti tersentil ketika menggenggam Sang Merah Putih raksasa
dalam dada kami. Ia adalah negeri yang telah kami tinggali, negeri yang akan
selalu menjadi tempat kembali ke manapun perantauan kami. Sungguh,
seburuk-buruknya pengkhianatan ketika kami yang diberi penghasilan oleh rakyat,
menyakiti mereka dengan membelokkan apa yang seharusnya kami lakukan untuk
mereka. Sebuah kejahatan yang sangat keji ketika amanah yang ada disalahgunakan
hanya untuk kemakmuran diri dan sebagian golongan. Sebuah dosa yang tak
terampuni ketika segala kebaikan ini, yang semuanya dari rakyat Indonesia,
tidak menjadikan kami terlecut untuk berkontribusi sedikit saja demi bangsa
ini.
Bendera
itu lama mendekap di dada ini. Semuanya menggenggam, semuanya merasakan getaran
yang dihasilkan di tengah-tengah alam yang menyaksikan. Ras, agama, atau apapun
yang kau katakan sebagai perbedaan, tertutupi dengan dua warna yang kita
kelilingi, merah dan putih. Dua warna itulah yang meleburkan berbagai ‘warna’
lain yang sebenarnya lebih bersifat keindahan hidup dibandingkan sebuah hal
yang layak untuk diperdebatkan. Kami disini bersatu, menjawab panggilan negara
untuk melakukan sesuatu demi Indonesia tercinta. Kami ada untuk itu! Dan ketika
ada yang mengatakan idealisme untuk setia terhadap Merah Putih hanya sekedar
isapan jempol belaka, katakanlah bahwa kau bukan bagian dari mereka. Bahwa kau
akan menjadi bagian dari kemajuan negeri ini, besar atau kecil.
Dan terakhir, katakanlah: Negeri ini masih punya harapan. Negeri ini masih punya kami!
NB: Tulisan ini tidak berkata kepada siapapun kecuali penulisnya sendiri.
Dan terakhir, katakanlah: Negeri ini masih punya harapan. Negeri ini masih punya kami!
NB: Tulisan ini tidak berkata kepada siapapun kecuali penulisnya sendiri.
No comments:
Post a Comment
Please write your comment here