Pages

Friday, September 27, 2013

If I were a Master Student

Share on :



Kulangkahkan kaki dengan cepat, berderap menuruni anak tangga satu per satu. Tanganku memeluk buku-buku tebal, sebagian merupakan hasil karya anak negeri yang sudah bergelar profesor, sebagian lainnya adalah impor dari para ahli di negara-negara Eropa bagian barat. Aku terus menatap pergelangan tanganku yang diikat oleh sang penunjuk waktu, seolah terus mengingatkanku bahwa aku harus sudah sampai tiga puluh menit lagi, menemui mentor utamaku saat ini dalam bidang geospasial. Ia, sang doktor yang sudah meraih titel profesornya empat tahun yang lalu. Relatif muda, cerah, penuh semangat, kritik tajamnya menancap dalam hati, tapi terus memacu mahasiswanya seolah agar mereka mampu menjadi lebih baik dari dirinya. Aku menyukai gayanya, ia membuatku penasaran, seolah menarikku untuk terus bersemangat dalam membuktikan aku layak menjadi mahasiswanya.
Aku sampai di depan pintu ruangannya. Terbaca dengan jelas, titel yang menyatakan dirinya adalah lulusan salah satu universitas di luar negeri. Sudah kuketahui sejak lama, ia mendapatkan gelar masternya di Hannover, Jerman, dan meraih titel doktornya di New Brunswick, Kanada. Ia jenius, mendapatkan semuanya dengan predikat cum laude. Aku mengetuk pintunya, sejurus kemudian aku sudah berdiri di hadapannya, siap mendiskusikan apa yang sudah aku tulis sejak tiga minggu yang lalu dengan berbagai macam riset yang kulakukan demi menyamai ilmunya, paling tidak ilmu saat ia memperoleh gelar masternya.
Matanya berkilat menatapku, nampak berkata ‘kamu bodoh, tulisanmu ini jauh dari nilai kebenaran relatif yang ditentukan oleh para ilmuwan’. Tapi aku tidak peduli, buatku itu adalah semangat yang terus membakarku selama aku berada dalam almamater baruku ini. Pandangannya kembali ke thesisku, membaca hurufnya satu per satu, detail mengkaji setiap abjad yang aku tulis. Sering aku heran, ia melakukan hal ini kepada semua mahasiswanya, nampak sekali bahwa bimbingan seperti ini bukan kegiatan yang membuang waktunya. Sepuluh menit ia melakukannya, tak berkata, tapi kulihat perubahan alis wajahnya dan kerutan di dahinya ketika ia menemukan kata yang menurutnya tidak layak. Hal itu ia tunjukkan dengan mengambil pulpen merah yang setia bermukim di saku kemejanya, tanpa ampun mencoret kalimat yang menurutku sudah merupakan kalimat terbaik yang aku pilih.
Sampai pada lembar terakhir, ia menutup kertas-kertas itu dengan halus, seolah memberiku penghargaan atas apa yang sudah aku kerjakan dalam beberapa minggu terakhir. Ini pula yang membuatku kagum padanya, ia selalu memberikan apresiasi pada semua orang, bahkan kepada karya mahasiswanya yang ngawur sepertiku. Ia berdeham, lalu membuka diskusi ini dengan apresiasi berbentuk kalimat. Sederhana saja sebenarnya, cukup dengan kalimat ‘good job’ atau ‘well done’, tapi diberi kata-kata seperti itu oleh orang yang terpandang di luar negeri tentu luar biasa.
Ia mulai memberikan analisisnya, khas alumni Eropa dalam memberikan pendapat ilmiah. Koreksinya tidak hanya ia berikan dalam bentuk kalimat yang terucap di mulutnya, namun juga dalam coretan-coretan di kertas yang terkadang tanpa ragu ia buat dalam bentuk flowchart atau poin-poin penting. Tak cukup sampai di situ, ia berbalik, berdiri, dan berjalan menuju rak yang berisi buku-buku tebal yang dikarang oleh ilmuwan-ilmuwan terbaik di dunia, seketika sudah mengambil empat diantaranya untuk dipamerkan di hadapanku. Tak perlu waktu lama bagiku untuk menyadari bahwa itu adalah jurnal-jurnal yang memiliki korelasi dengan kesalahan yang kulakukan, yang secara implisit menunjukkan bahwa aku masih perlu banyak mengkaji tulisan-tulisan dari para ahlinya. Ia persilahkan diriku untuk meminjamnya, merangkai pengetahuan yang ada di dalamnya.
Bimbingan diakhiri setelah diskusi berjalan hampir separuh pertandingan sepak bola, namun semua tidak berhenti sampai di situ. Seperti bimbingan-bimbingan sebelumnya, ia kembali mengajariku nilai-nilai kehidupan, kali ini ia menceritakan pengalamannya ketika akan mengambil kuliah S2 di Jerman. Bahwa ketika itu ia meraihnya dengan penuh perjuangan, perjuangan yang harus dibayar mahal dengan karirnya yang sempat tersendat. Singkat cerita, demi memantapkan langkahnya mendapatkan beasiswa DAAD, ia rela resign dari salah satu perusahaan offshore besar di dunia demi memfokuskan diri meningkatkan kemampuan dirinya yang akan dilirik oleh pemberi beasiswa. Hampir dua tahun ia nampak seperti menganggur, hidup berhemat hanya dengan tabungan selama tiga tahun bekerja di perusahaan lamanya, sambil meraih sedikit demi sedikit rupiah ketika bekerja freelance sebagai surveyor. Banyak yang mencaci keputusannya saat itu yang nampaknya langsung menjatuhkan derajatnya dalam seketika, namun semua terjawab ketika ia mampu menjejakkan kaki di Jerman, impian yang mampu menjadikan dirinya membuat keputusan klimaks dalam hidupnya. Aku terhanyut dalam ceritanya, kekagumanku bertambah darinya, bahwa ia tidak hanya mampu meraih segalanya dengan perjuangan, namun berusaha menginspirasi orang lain dengan kisah hidupnya itu.
Kukumpulkan kertas-kertas hasil kerjaku, diikuti dengan buku-buku tebal yang kubawa dari perpustakaan dan yang baru saja dipinjamkan profesor pembimbingku itu. Aku menyalaminya dan tak pernah lupa mengucapkan terima kasih. Aku akan terus menganggapnya sebagai guru, seperti Kenshin Himura yang begitu hormat kepada Seijuro Hiko. Sampai kemanapun diriku nanti, aku tak pernah lupa bahwa ia adalah orang yang memberiku banyak sekali ilmu pengetahuan, sekalipun ia terkadang memberikannya dengan cara yang sedikit ‘tajam’. Tak masalah tentunya, bukankah Hiko juga memberikan pelajaran Hitenmitsurugi kepada Kenshin dengan sangat keras? Justru itulah yang kuharapkan, pendidikan tak hanya melulu segi teknis, namun juga pembinaan karakter yang menuntutku untuk selalu bekerja keras.
Aku berdiri, merapikan kursi dengan satu tanganku yang bebas dari buku-buku, berjalan cepat menuju pintu yang sejak aku masuk tertutup dengan rapat. Aku kembali memandangi apa yang kupeluk, menatapnya lebih dari sekedar tumpukan kertas, bahwa ia adalah mimpiku, ia adalah alasanku untuk ada di sini. Titel master memang penting, tapi aku lebih mencintai beragam ilmu yang ada di dalamnya. Aku ada di sini karena aku mencintai ilmu pengetahuan, bukan sekedar mendapatkan gelar yang mungkin memberikanku jabatan lebih ketika masuk perusahaan. Hampir sepuluh detik aku memandangnya, masih dengan berjalan. Tak lama berselang, tatapanku menuju ke depan, meskipun pikiranku jauh melebihi apa yang aku lihat secara visual.
Tak kusangka, sebuah cahaya terang berkelebat dari depanku, seketika membungkus tubuhku yang sedang berjalan cepat di koridor kampus. Seketika aku tersadar, bahwa kisah ini masih sekedar mimpi, mimpi yang ingin aku perjuangkan.

No comments:

Post a Comment

Please write your comment here