Kulangkahkan kaki dengan cepat, berderap menuruni anak tangga satu per satu. Tanganku memeluk buku-buku tebal, sebagian merupakan hasil karya anak negeri yang sudah bergelar profesor, sebagian lainnya adalah impor dari para ahli di negara-negara Eropa bagian barat. Aku terus menatap pergelangan tanganku yang diikat oleh sang penunjuk waktu, seolah terus mengingatkanku bahwa aku harus sudah sampai tiga puluh menit lagi, menemui mentor utamaku saat ini dalam bidang geospasial. Ia, sang doktor yang sudah meraih titel profesornya empat tahun yang lalu. Relatif muda, cerah, penuh semangat, kritik tajamnya menancap dalam hati, tapi terus memacu mahasiswanya seolah agar mereka mampu menjadi lebih baik dari dirinya. Aku menyukai gayanya, ia membuatku penasaran, seolah menarikku untuk terus bersemangat dalam membuktikan aku layak menjadi mahasiswanya.
Aku
sampai di depan pintu ruangannya. Terbaca dengan jelas, titel yang menyatakan
dirinya adalah lulusan salah satu universitas di luar negeri. Sudah kuketahui
sejak lama, ia mendapatkan gelar masternya di Hannover, Jerman, dan meraih
titel doktornya di New Brunswick, Kanada. Ia jenius, mendapatkan semuanya
dengan predikat cum laude. Aku mengetuk pintunya, sejurus kemudian aku sudah
berdiri di hadapannya, siap mendiskusikan apa yang sudah aku tulis sejak tiga minggu
yang lalu dengan berbagai macam riset yang kulakukan demi menyamai ilmunya,
paling tidak ilmu saat ia memperoleh gelar masternya.
Matanya
berkilat menatapku, nampak berkata ‘kamu bodoh, tulisanmu ini jauh dari nilai
kebenaran relatif yang ditentukan oleh para ilmuwan’. Tapi aku tidak peduli,
buatku itu adalah semangat yang terus membakarku selama aku berada dalam
almamater baruku ini. Pandangannya kembali ke thesisku, membaca hurufnya satu
per satu, detail mengkaji setiap abjad yang aku tulis. Sering aku heran, ia
melakukan hal ini kepada semua mahasiswanya, nampak sekali bahwa bimbingan
seperti ini bukan kegiatan yang membuang waktunya. Sepuluh menit ia
melakukannya, tak berkata, tapi kulihat perubahan alis wajahnya dan kerutan di
dahinya ketika ia menemukan kata yang menurutnya tidak layak. Hal itu ia
tunjukkan dengan mengambil pulpen merah yang setia bermukim di saku kemejanya, tanpa
ampun mencoret kalimat yang menurutku sudah merupakan kalimat terbaik yang aku
pilih.
Sampai
pada lembar terakhir, ia menutup kertas-kertas itu dengan halus, seolah
memberiku penghargaan atas apa yang sudah aku kerjakan dalam beberapa minggu
terakhir. Ini pula yang membuatku kagum padanya, ia selalu memberikan apresiasi
pada semua orang, bahkan kepada karya mahasiswanya yang ngawur sepertiku. Ia
berdeham, lalu membuka diskusi ini dengan apresiasi berbentuk kalimat. Sederhana
saja sebenarnya, cukup dengan kalimat ‘good job’ atau ‘well done’, tapi diberi
kata-kata seperti itu oleh orang yang terpandang di luar negeri tentu luar
biasa.
Ia
mulai memberikan analisisnya, khas alumni Eropa dalam memberikan pendapat
ilmiah. Koreksinya tidak hanya ia berikan dalam bentuk kalimat yang terucap di mulutnya,
namun juga dalam coretan-coretan di kertas yang terkadang tanpa ragu ia buat
dalam bentuk flowchart atau poin-poin penting. Tak cukup sampai di situ, ia
berbalik, berdiri, dan berjalan menuju rak yang berisi buku-buku tebal yang
dikarang oleh ilmuwan-ilmuwan terbaik di dunia, seketika sudah mengambil empat
diantaranya untuk dipamerkan di hadapanku. Tak perlu waktu lama bagiku untuk
menyadari bahwa itu adalah jurnal-jurnal yang memiliki korelasi dengan
kesalahan yang kulakukan, yang secara implisit menunjukkan bahwa aku masih
perlu banyak mengkaji tulisan-tulisan dari para ahlinya. Ia persilahkan diriku
untuk meminjamnya, merangkai pengetahuan yang ada di dalamnya.
Bimbingan
diakhiri setelah diskusi berjalan hampir separuh pertandingan sepak bola, namun
semua tidak berhenti sampai di situ. Seperti bimbingan-bimbingan sebelumnya, ia
kembali mengajariku nilai-nilai kehidupan, kali ini ia menceritakan
pengalamannya ketika akan mengambil kuliah S2 di Jerman. Bahwa ketika itu ia
meraihnya dengan penuh perjuangan, perjuangan yang harus dibayar mahal dengan karirnya
yang sempat tersendat. Singkat cerita, demi memantapkan langkahnya mendapatkan
beasiswa DAAD, ia rela resign dari salah satu perusahaan offshore besar di
dunia demi memfokuskan diri meningkatkan kemampuan dirinya yang akan dilirik
oleh pemberi beasiswa. Hampir dua tahun ia nampak seperti menganggur, hidup
berhemat hanya dengan tabungan selama tiga tahun bekerja di perusahaan lamanya,
sambil meraih sedikit demi sedikit rupiah ketika bekerja freelance sebagai
surveyor. Banyak yang mencaci keputusannya saat itu yang nampaknya langsung
menjatuhkan derajatnya dalam seketika, namun semua terjawab ketika ia mampu
menjejakkan kaki di Jerman, impian yang mampu menjadikan dirinya membuat
keputusan klimaks dalam hidupnya. Aku terhanyut dalam ceritanya, kekagumanku
bertambah darinya, bahwa ia tidak hanya mampu meraih segalanya dengan
perjuangan, namun berusaha menginspirasi orang lain dengan kisah hidupnya itu.
Kukumpulkan
kertas-kertas hasil kerjaku, diikuti dengan buku-buku tebal yang kubawa dari perpustakaan
dan yang baru saja dipinjamkan profesor pembimbingku itu. Aku menyalaminya dan
tak pernah lupa mengucapkan terima kasih. Aku akan terus menganggapnya sebagai
guru, seperti Kenshin Himura yang begitu hormat kepada Seijuro Hiko. Sampai
kemanapun diriku nanti, aku tak pernah lupa bahwa ia adalah orang yang
memberiku banyak sekali ilmu pengetahuan, sekalipun ia terkadang memberikannya
dengan cara yang sedikit ‘tajam’. Tak masalah tentunya, bukankah Hiko juga
memberikan pelajaran Hitenmitsurugi kepada Kenshin dengan sangat keras? Justru itulah yang
kuharapkan, pendidikan tak hanya melulu segi teknis, namun juga pembinaan
karakter yang menuntutku untuk selalu bekerja keras.
Aku
berdiri, merapikan kursi dengan satu tanganku yang bebas dari buku-buku, berjalan
cepat menuju pintu yang sejak aku masuk tertutup dengan rapat. Aku kembali
memandangi apa yang kupeluk, menatapnya lebih dari sekedar tumpukan kertas,
bahwa ia adalah mimpiku, ia adalah alasanku untuk ada di sini. Titel master
memang penting, tapi aku lebih mencintai beragam ilmu yang ada di dalamnya. Aku
ada di sini karena aku mencintai ilmu pengetahuan, bukan sekedar mendapatkan
gelar yang mungkin memberikanku jabatan lebih ketika masuk perusahaan. Hampir
sepuluh detik aku memandangnya, masih dengan berjalan. Tak lama berselang, tatapanku
menuju ke depan, meskipun pikiranku jauh melebihi apa yang aku lihat secara
visual.
Tak
kusangka, sebuah cahaya terang berkelebat dari depanku, seketika membungkus
tubuhku yang sedang berjalan cepat di koridor kampus. Seketika aku tersadar,
bahwa kisah ini masih sekedar mimpi, mimpi yang ingin aku perjuangkan.
No comments:
Post a Comment
Please write your comment here