Pages

Sunday, November 24, 2013

Ayah, Sudahkah Kutunjukkan Sebuah Kebanggaan?

Share on :

Ayah tak pernah mengatakannya, tak pernah sedikit pun diekspresikan dalam kata-kata yang lugas. Mungkin karena beliau menganggapku sudah cukup dewasa untuk mengatur diriku sendiri. Apalagi ini adalah fase awalku jauh dari rumah, setelah delapan belas tahun lamanya hidup dalam binaan dan perlindungan orang tua. Pilihan hidup yang vital sudah diambil, semua memang sudah sesuai dengan kesepakatan antara aku dan ayah, benar atau tidaknya pilihan ini tentu takkan pernah kami tahu sampai waktu sendiri yang akan menjelaskannya. Geodesi, jurusan yang aku sendiri tak tahu apa itu sampai aku belajar beberapa semester di sini. Tapi entah mengapa, intuisi ini begitu mantap, seakan menjelaskan bahwa ini adalah pilihan terbaik untukku. Kujelaskan pada ayah, kutahu beliau demokratis, yang pada akhirnya rela menjodohkanku dengan ilmu yang aku pilih hanya berdasarkan perasaan itu.
Beberapa semester berjalan, aku tahu tak pernah ada penyelasan dalam keputusan ini meskipun apa yang aku pilih bukan barang yang mudah untuk dipahami apalagi dikuasai. Hanya satu yang aku tahu, ketika kita mencintai suatu hal, kita akan coba memahaminya sebisa yang kita mampu sekalipun itu hal yang sukar. Apapun konteksnya, baik itu ilmu maupun manusia. Dan aku tahu bahwa aku mencintai apa yang aku pilih, sampai sekarang, dan di masa depan ketika aku mempelajarinya dengan lebih dalam dan menggunakannya sebagai kontribusi terhadap negeriku. Aku mencintainya, aku akan menghabiskan sisa hidupku dengannya. Geodesi, kau pilihan terbaik yang dijodohkan Allah denganku.
Ah, kenapa aku jadi kemana-mana? Bukan itu yang ingin kujelaskan, tapi proses bagaimana aku melaluinya. Semester pertama, semester yang paling berapi-api meskipun kapasitas otakku tentu saja masih jauh lebih kosong dibandingkan tahun-tahun berikutnya. Dengan bangga kupamerkan IP semester satu yang sebenarnya tidak spesial itu –jika parameter spesial adalah cumlaude– kepada ayah. Seperti biasa, tak banyak ekspresi yang ditunjukkan beliau, selain ucapan ‘selamat’ lewat SMS yang dikirim dari negeri sakura.
Organisasi menghiasi hidupku di enam semester berikutnya. Ini gila sebenarnya, aku tak pernah memiliki minat pada organisasi apapun di SMP maupun SMA. Yah, mungkin inilah yang namanya keinginan untuk mencoba sesuatu yang berbeda, atau dalam bahasa positifnya adalah motivasi untuk berubah. Bukannya menyalahkan, tapi itu membuat IP-ku menjadi fluktuatif, bahkan pernah berada di bawah 3,00 ketika berada dalam fase klimaks saat menjabat di organisasi. Tak apalah, yang penting mentalku tertempa, aku yakin ini akan ada manfaatnya di hari kelak, pikirku. Sesuatu yang memang aku buktikan bertahun-tahun kemudian.
Ayah selalu berusaha memahamiku, sekalipun terkadang aku ini kerap mengatakan dan bertindak dalam koridor yang sulit dipahami banyak orang. Ayah selalu mempercayaiku, apapun yang aku lakukan, sekalipun saat itu tak setiap hari aku berikirim kabar dengannya. Tak jarang kebutuhanku di kampus membengkak dan melebihi budget bulanan yang dikirimkan ayah, bahkan ketika aku sudah berhemat sehemat-hematnya, tapi tak pernah sekali pun beliau meragukan apa yang harus aku penuhi. Ayah tak pernah memintaku untuk mengulangi peningkatan kebutuhan finansial yang kuminta, padahal ada ruang bagiku untuk membuat-buat alasan hanya agar beliau menambahkan uang jajanku. Tentu saja tak terbersit sedikitpun keinginan untuk itu, tapi hanya satu yang aku pahami, bahwa sejak pertama kali aku diterima di sini, di kampus yang selalu aku cintai ini, ayah sangat percaya padaku.
Sudah pasti ini bukan soal biaya, ayah juga pasti tak akan pernah memikirkannya selama itu memang menjadi kebutuhan yang berhubungan dengan akademisku, tapi sudah pasti bahwa beliau ingin aku menyelesaikan pendidikanku secepat mungkin. Aku tahu bahwa gelar sarjana bukan sesuatu yang spesial bagi beliau, dalam arti itu memang hal yang wajar sebagai bentuk penuntasan atas apa yang sudah aku mulai. Tapi aku tak peduli, aku harus menunjukkannnya sesegera mungkin. Mungkin takkan ada kata-kata khusus, ayah memang seperti itu, jarang mengekspresikannya dalam bahasa verbal yang jelas, tapi aku tahu bahwa beliau sangat menginginkannya.
Semua itu sudah terjadi. Sudah setahun lebih lamanya sejak beliau menjadi pendamping wisudaku. Dan memang semua seperti yang sudah kukira, tak ada yang istimewa selain datang bersama ibu dan adikku dan menemaniku untuk menerima ijazah dari dekan. Semuanya begitu cepat, ya, memang untuk beliau itu hal yang sudah seharusnya beliau lihat dari anaknya. Sampai kini, aku tak tahu, aku tak punya parameter untuk menginterpretasikan apa yang beliau rasakan hingga membuatku bisa menjadi kebanggaannya. Aku ingin melihatnya, meski aku tak terlalu pandai menafsirkan hal yang bisa membuatnya bangga. Aku telah berusaha melakukan yang terbaik, meski yang aku raih saat ini masih dalam taraf ‘biasa-biasa saja’. Sesuatu yang lain itu, entahlah, tentu saja sudah aku pikirkan rencanaku sampai bertahun-tahun ke depan. Aku hanya bisa berdoa, aku ingin ayah sempat melihatku meraih lebih dari ini, aku hanya perlu waktu, dan kutahu bahwa aku punya semangat untuk mewujudkannya. Sudah kuutarakan kepada ayah apa mimpi-mimpiku, sudah beliau dengarkan, kini aku tinggal menggandeng waktu untuk membantuku membuktikannya.

No comments:

Post a Comment

Please write your comment here